Langsung ke konten utama

Resensi dan Elemen Jurnalistik pada Film "State of Play"


       Film yang bertemakan politik ini disutradarai oleh Kevin Macdonald. State of Play bercerita tentang penyelidikan beberapa orang jurnalis atas terjadinya pembunuhan seorang wanita bernama Sonia Baker yang ternyata merupakan selingkuhan dari salah satu anggota Kongres.
            State of Play diawali dengan adegan penembakan seorang perampok oleh seorang pria yang memegang sebuah koper. Sang penembak juga menembak seorang pengantar pizza, yang tak sengaja menyaksikan kejadian tersebut.  Penembakan itu membuat pengantar pizza koma dan harus dirawat di rumah sakit. Keesokan paginya, di sebuah jalur kereta api ditemukan seorang wanita tewas dan diduga sebagai sebuah usaha bunuh diri.
            Wanita tersebut adalah Sonia Baker, seorang pegawai dari anggota Kongres Pennsylvania, Stephen Collins. Pada saat konferensi pers mengenai kematian Sonia Baker,  Stephen meneteskan air mata. Hal itu menimbulkan spekulasi di kalangan pers bahwa Stephen telah menjalin sebuah hubungan khusus dengan Sonia.
            Di lain tempat, jurnalis Cal McAffrey yang merupakan mantan teman satu kamar asrama Stephen Collins di masa kuliah sedang berdiskusi tentang permasalahan itu dengan Della Frye, seorang reporter baru yang mengelola harian online. Pada awalnya, Cal menyelidiki pembunuhan seorang perampok yang diceritakan pada awal film. Namun, seiring perkembangan informasi ia menemukan adanya hubungan antara Sonia Baker dan perampok tersebut. Ini menunjukan sifat kreatif dan out of the box yang dimiliki seorang jurnalis.
            Berdasarkan salah satu 9 elemen jurnalis yaitu kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, Cal dan Della akhirnya memutuskan untuk menyelidiki kasus ini.  Investigasi ini juga sebenarnya  didorong rasa bersalah Cal karena dulu sempat berselingkuh dengan istri Stephen, Anne Collins. Apalagi, Stephen datang langsung ke apartemennya dan meminta bantuan Cal. Film yang diproduseri oleh Andrew Hauptman ini sangat menonjolkan sifat-sifat yang mencerminkan seorang jurnalis, seperti pandai bernegosiasi, coffered, konteks, kreatif, dan memiliki banyak ‘link’.
            Cal dan Della terus mencari informasi dan melakukan penyelidikan tentang kasus ini karena esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. State of Play  menggambarkan penelusuran Cal dan Della atas kasus ini yang ternyata justru membuka sebuah kasus besar yang melibatkan berbagai pihak militer Amerika Serikat.
            Film yang keluar pada tahun 2009 ini memiliki banyak permasalahan yang sangat rumit. Selama 128 menit para menikmat film ini akan merasa kelelahan, khusunya bagi mereka yang bukan penggemar film bergenre politik. Namun, Matthew Michael Carnahan, Tony Gilroy, Peter Morgan dan Billy Ray, yang masing-masing telah berpengalaman dalam menuliskan naskah sebuah film bernuansa politik, State of Play mampu mempertahankan penikmatnya untuk terus menonton karena film ini pintar, menarik, dan sangat membuat penasaran. Terkadang penulis menyelipkan hiburan kecil yang diselipkan pada dialog-dialog para pemainnya.
            State of Play pandai menjaga intensitas filmnya. Secara perlahan, intensitas dari film ini meningkat sehingga menimbulkan rasa tegang pada para penontonnya yang menyimak  Cal dan Della yang sedang membuka kebenaran dari berbagai pertanyaan yang hadir di seputar kematian Sonia Baker. Cal dan Della pun tetap menjaga independensi dari obyek liputannya. Film bergenre politik ini terus menghadirkan twist hingga akhir cerita. Hal ini yang menyebabkan film terus membuat penasaraan penontonnya.
            Selain keahlian dari sutradara dan penulis naskah, daya tarik utama film ini adalah jajaran aktor dan aktris yang berperan didalamnya. Nama-nama besar seperti Russell Crowe, Ben Affleck, Rachel McAdams, Helen Mirren hingga Robin Wright Penn, Jeff Daniels, Jason Bateman dan Viola Davis mampu memanjakan mata para menikmat State of Play. Para jajaran pemeran film ini mampu menguasai peran masing-masing, sehingga mereka dapat saling mengisi karakter satu sama lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novel gue cetak!

               "Akhirnya cetak!!!!!" gue mendadak gila gara-gara 2 buku yang terpampang di meja belajar. Buku apa? Buku novel hasil jerih payah gue sendiri. Dua bulan gue njelimpang-njelimpung cari inspirasi buat nyelesainnya, akhirnya tamat juga. Pyuhhh... *ngelapkeringet*                 Sebenarnya novel yang gue cetak itu cuma tugas, tapi gue tetep aja senengnya ampun-apunan. Jadi gini, awal semester 1 dosen gue yang biasa dipanggil pak Madun udah ngasih 'warning' ke kita buat segera menyelesaikan tugas akhir. Tugas akhirnya itu ada 3 pilihan, novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Masing-masing itu harus dikerjakan sebanyak 50 halaman A5 dengan berbagai ketentuan.                  Gue dan temen-temen langsung histeris ngedenger penjelasan tentang tugas gila itu. Berhubung yang doi minta 50 halaman, otomatis gue udah ngeper dulu buat bikin novel. Gila aja novel 50 halaman, bro! Waktu itu yang gue pilih adalah kumpulan cerpen. Menurut kesoktauan tingkat

From Them

Salah satu tradisi ulangtahun anak muda itu Display picture BBM. Seperti gue yang dapet poto dari sahabat-sahabat gila. made by Indah Made by Clarissa Thank you ya! -_______________- Good job, Tasha Mughniar

Demam Korea di Indonesia, Butuh Obatkah?

                  Kini televisi disegarkan oleh muda-mudi Indonesia berwajah oriental yang tampil dimana-mana. Mereka asyik menyanyi sambil menari dengan kostum warna-warni dan tak lupa pernak-pernik yang ikut menempel ditubuhnya. Mereka menamai dirinya sebagai boyband atau girlband. Lantas, mengapa harus muncul bersamaan? Ya, akh ir-akhir ini Ibu pertiwi sedang terjangkit sebuah demam, demam Korea. Diawali dengan munculnya sebuah drama seri berjudul “Full House” pada tahun 2004 yang sukses besar di Indonesia. Maka bermunculanlah drama-drama lain yang memanjakan mata masyarakat. Penyuka Korea pun semakin lama semakin bertambah.             Seiring berjalannya waktu, bukan hanya drama Korea saja yang seliweran di televisi Indonesia. Kini muncul pula boyband dan girlband asli Korea. Sebut saja Super Junior dan SNSD. Mereka adalah contoh boyband dan girlband paling terkenal di Korea, begitu juga di Indonesia. Tentu nama dan lagu mereka sudah tidak asing lagi bagi penyuka Korea di Indo