"Datang dan pergi. Ah! Semua sama." kata seorang wanita sambil menunduk.
"Datang menyembuhkan luka itu bisa dipercaya, tapi pergi tanpa meninggalkan luka itu sulit dipercaya." tambahnya lagi sambil tersenyum.
Aku terus berdiam diri menatap wanita itu. Wajahnya sendu, matanya sayu. Ia memadu senyum, tapi kepedihan masih bisa menyeruak dari rautnya. Semakin lekat aku menatap, semakin aku tahu jika hatinya sedang tersayat.
Tiba-tiba air menetes dari sudut kiri matanya. Seketika senyum tadi pun hilang. Kini, aku dapat melihat dengan jelas raut wanita yang tersakiti. Wanita yang menyimpan pedih serta bongkahan amarah. Amarah yang terpendam, amarah yang akan mengundang dendam dan tentu amarah pada salah satu anak Adam.
Wanita itu terus menangis sambil menatapku. Tatapannya tajam, hingga hatiku seperti teriris. Dari kilau matanya, aku melihat kelelahan dan keputusasaan. Ia sepertinya hampir menyerah dengan keadaan. Aku sangat merasa iba, ingin sekali aku memeluknya. Namun, tiba-tiba ia tersenyum sambil menghapus airmata.
"Aku baik-baik saja." ucap wanita itu dengan tangis yang tertahan.
Aku mematung, hatiku sakit melihat ia yang sedang tidak baik-baik saja, tapi berusaha untuk terlihat baik.
Kini wajahnya memerah, pipinya basah penuh air mata, mulutnya menganga, nafasnya tersendak, dan sesekali matanya terpejam.
"Tuhan.. Ada apa dengannya? Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dalam diam.
Akhirnya kuberanikan diri untuk mendekat, kuulurkan tangan hendak menghapus airmatanya. Namun, wanita itu terlihat enggan. Ia menggeleng lalu tersenyum.
"Aku hanya merasa lelah. Lelah untuk kembali berdiri, saat dahulu aku pernah jatuh dan hampir bangkit, tapi kini aku harus jatuh lagi. Kamu tahu? itu sungguh menyiksa! Tertatih membawa sebidang luka dan sebongkah amarah. Menyeretnya dalam lautan kehidupan, memaksanya untuk kembali berdapingan dengan lawan maya. Sakit rasanya menjadi biasa, padahal ada yang tidak biasa. Semua itu memakan waktu lama, waktu untuk sembuh dengan sendirinya atau dengan bantuan orang lain. Namun, pecayalah! Aku akan baik-baik saja."
Aku menghela nafas panjang. Perih sekali hati ini melihatnya berusaha untuk kuat, padahal ia sedang benar-benar lemah. Ironi..
Kami beradu tatap cukup lama, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk mengeluarkan beberapa kata.
"Kamu akan selalu menjadi baik. Aku percaya itu. Kamu bisa!" kataku.
Wanita itu pun hilang saat aku berpaling dari cermin.
Kuhapus airmata di pipi dan bergegas pergi..
Komentar
Posting Komentar